Api dibalik puisi
Puisi api nurani aku tulis pertama kali ketika sedang mengikuti kegiatan di Sibolangit. Waktu itu, aku bersama beberapa teman mahasiswa berangkat dari Medan. Hajatan awal kami hanya sekedar mengawasi jalannya kegiatan di sana. Dan di sanalah puisi ini tertuliskan.

Puisi api nurani ini sebenarnya berpesan agar sebagai manusia, kita jangan sampai memisahkan hati nurani dari raga dan kehidupannya. Satu permisalan, manusia pada dasarnya selalu ingin damai, sebab damai adalah fitrahnya manusia, maka jangan jauhkan perdamaian dari kehidupan manusia. Dan perdamaian sesungguhnya adalah bisikan nurani, maka dengarkan bisikan itu dan jangan pernah abaikan bisikan itu. Begitu pula, manusia pada dasarnya selalu ingin berkata yang baik-baik, maka jangan bohongi hati nurani untuk berkata jujur dan apa adanya. Manusia juga, sesungguhnya amat membutuhkan Tuhan, maka jangan ingkari hati untuk selalu dekat dengan Tuhan.
Lewat puisi ini, aku berpesan kepada siapa pun agar mereka menjaga hati nurani serta mendengarkannya. Jika nurani sudah dilupakan bahkan ditinggalkan, maka perlahan eksistensi manusia pun akan berakhir berangsur-angsur. Layaknya api yang mati jika dipisahkan dari kumpulannya. Atau air yang kering, jika dipisahkan dari alirnya. Atau seperti cahaya yang tak akan pernah dikenal oleh siapa pun jika ia dipisahkan dari ruangan. Selayak hilangnya eksistensi manusia, jika ia memisahkan jiwa dari raganya. Sebab, nurani merupakan elemen penting dari jiwa dan raga manusia. Jika nurani sudah dipisahkan dari raga manusia dan kehidupannya, maka tidak heran jika kita menemukan banyak manusia yang menjadi pecundang. Semuanya rakus, brutal, dan bengis. Semoga tidak kita semua.
Sekali lagi, jangan abaikan bisikan nurani. Dan jaga lah ia agar selalu menyuarakan petunjuk Ilahi. Hemmmm.