Cara Turunnya Wahyu Allah
51. Dan tidak mungkin
bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
52. Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah
iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan
dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu
benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (asy-Syuraa (42):
51-51)
Tafsir Mufradat
AL-WAHYU:
Berasal dari kosa kata: wahaa-yahii.
Al-Wahyu dalam bentuk masdar mempunyai dua makna: hal tersembunyi dan cepat.
Karena itulah para ulama berpendapat bahwa makna al-Wahyu dalam bentuk masdar
ialah “pemberitahuan secara rahasia dan cepat dan khusus bagi orang tertentu
tanpa diketahui oleh orang lain”. Pada umumnya al-wahyu dalam bentuk masdar
dimaknai dengan isim maf’ul, sehingga maknanya menjadi “yang diwahyukan”.
Secara bahasa, wahyu mempunyai
beberapa makna, yaitu:
1. Al-Ilham
al-fitriy (ilham naluri) bagi manusia, seperti wahyu yang diberikan kepada ibu
Nabi
Musa
Dan kami ilhamkan kepada
ibu Musa; "Susuilah dia… (al-Qasas (28): 7)
2. Al-Ilham
al-garizy (ilham instink) bagi binatang, seperti wahyu yang diberikan kepada
lebah:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia.”
(an-Nahl (16): 68)
3. Al-Isyarah
as-sari’ah (isyarat cepat), seperti isyarat yang dilakukan Nabi Zakariya,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Maka ia keluar dari
mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu
bertasbih di waktu pagi dan petang.
(Maryam (19): 11)
4. Waswasatusy-Syaitan
(bisikan syaitan) dan dorongan dalam hati seseorang untuk melakukan kejahatan,
Sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah SWT:
……Sesungguhnya syaitan
itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (al-An’am (6): 121)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Dan demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)….. (al-An’am (6): 112)
5. (Manna’
al-Qattan, 1971, Mabahis fi ‘Ulumil-Qur’an: 30)
(Ingatlah), ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman….(al-Anfal (8): 12)
Adapun al-wahyu menurut syar’iy
ialah : Suatu ‘irfan (pengetahuan) yang didapat oleh seseorang di dalam dirinya
serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut adalah dari Allah, baik dengan
perantaraan maupun tanpa perantaraan dan yang pertama dengan suara yang dapat
didengar atau tanpa suara. (Muhammad ‘Abduh, 1343 H, Risalah at-Tauhid: 58)
Tafsir Ayat
Allah
SWT menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw, bukanlah yang pertama kalinya, sebab
Allah SWT telah menurunkan wahyu kepada para Nabi sebelumnya, sebagaimana
diungkapkan dalam firman-Nya:
163. Sesungguhnya Kami
telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada
Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula)
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus,
Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
164. Dan (Kami telah
mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu
dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (an-Nisa’ (4): 163-164)
Turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
saw, bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebagaimana dituduhkan oleh
orang-orang kafir. Karena itulah Allah SWT membantahnya dengan firman-Nya:
Patutkah menjadi
keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara
mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang
beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan
mereka." Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini
(Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata." (Yunus (10): 2)
Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah
bahwa telah sewajarnya Allah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw dan para
nabi sebelumnya.
Cara Turunnya Wahyu
Adapun
cara turunnya wahyu kepada para rasul telah diungkapkan dalam surat asy-Syuraa
(42): 51-52 (Ayat pertama dan kedua), yang artinya kurang lebih sebagai
berikut:
“Dan tidak mungkin bagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi
Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang
kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syuraa (42): 51-52).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah
SWT menurunkan wahyu-Nya kepada para rasul-Nya dengan cara:
1. Secara
langsung, tanpa perantaraan; cara ini ada dua macam:
a. Ar-Ru’ya
as-saalibah (mimpi yang benar), sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra, ia
berkata:
Permulaan
wahyu yang diterima Nabi saw adalah mimpi yang benar dalam tidur dan beliau
tidaklah bermimpi, melainkan bagaikan terbitnya waktu subuh. (al-Bukhariy,
Kitab Bad’il Wahyi)
Artinya
bahwa mimpi beliau sangat jelas, seperti jelasnya waktu subuh. Mimpi tersebut
adalah sebagai persiapan untuk wahyu dalam keadaan jaga, dan al-Qur’an
seluruhnya diterima dalam keadaan jaga.
Mimpi
yang jelas dan benar bagi para Nabi, merupakan wahyu yang wajib dilaksanakan,
sebagaimana mimpi Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam surat as-Saffat (37):
101-112). Dalam ayat-ayat tersebut dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim bermimpi
menyembelih puteranya, Isma’il. Karena mimpi para nabi merupakan wahyu yang
wajib dilaksanakan, maka beliau pun
melaksanakannya.
b. Firman
Allah yang disampaikan dari belakang tabir. Wahyu semacam ini pernah diterima
oleh Nabi Musa as, beliau mendengar dan menerimanya secara langsung dari
belakang tabir, tetapi beliau tidak melihat Allah (al-Qasimiy, 1978, XIV: 322),
seperti diungkapkan dalam firman-Nya:
Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau……." (al-A’raf
(7): 143. Pada ayat lainnya Allah berfirman:
……..Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (an-Nisa’
(4): 164).
Manna’ al-Qattan mengatakan bahwa pernah
juga Allah SWT berbicara secara langsung kepada Nabi Muhammad saw pada malam
isra’ dan mi’raj. (Manna’ al-Qattan, 1971: 35).
Wahyu macam inilah yang disebutkan dalam
friman-Nya:
Atau
dari belakang hijab
2. Dengan
perantaraan Malaikat Jibril, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
(asy-Syuraa (42): 51).
Dengan cara inilah
wahyu (al-Qur’an) itu diturunkan kepada Rasulullah saw.
Para ulama mengatakan bahwa wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah saw tidak lepas dari salah satu dari dua sifat:
a. Wahyu
diturunkan kepadanya bagaikan bunyi lonceng yang sangat keras, yang dapat
menggugah hati untuk menerimanya. Apabila wahyu itu turun dengan bentuk ini,
maka Rasulullah saw mengumpulkan segala kekuatannya untuk menerimanya,
menghafalkannya dan untuk memahaminya. Sifat dan bentuk nuzulil wahyi yang
seperti inilah yang dirasakan paling berat bagi Rasul saw.
b. Malaikat
menjelma manusia dan datang kepada Nabi saw dalam bentuk seorang laki-laki.
Sifat inilah yang paling ringan bagi beliau dari sifat (bentuk) yang pertama.
Sebab antara orang yang berbicara dan yang mendengarkan dapat terjalin dengan
harmonis dan Rasulullah pun merasa tenang, karena dapat mendengarkan wahyu dari
Malaikat dengan baik dan tenang bagaikan pertemuan antara seorang dengan
saudaranya.
Kedua
sifat ini diungkapkan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra:
Dari
‘Aisyah, Ummul Mu’minin ra. Bahwa Haris bin Hisyam ra bertanya kepada
Rasulullah saw, maka beliau menjawab: Kadang-kadang datang kepadaku (wahyu)
seperti bunyi lonceng dan yang demikian itu adalah yang paling berat bagiku,
sehingga memekakkan kupingku, dan aku pun menerima daripadanya apa yang dia
katakana, dan kadang-kadang malaikat itu menjelma seorang laki-laki di
hadapanku dan berbicara kepadaku, maka aku pun menerima apa yang dia katakana.
(Ditakhrijkan oleh Bukhariy, Kitab Ba’il-Wahyi)
Oleh:
Prof. Drs. H. Sa’ad Abdul Wahid