Ikhlas
Dalam sebuah cerita, ada seorang
ustadz. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya
untuk mengajar al Qur’an kepada anak-anaknya. Pada waktu yang ditentukan sang
ustadz datang ke rumah murid-muridnya dengan teratur. Ketika ia mempunyai uang.
Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya pertama berkata,”Pak
Ustadz, saya yakin Bapak orang yang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah.
Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa
mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda.” Pak Ustadz
termenung. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan setelah menderngar
kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi ia merasakan ada sesuatu yang salah
dalam ucapan orang kaya itu, tetapi dimana?. Ia tidak tahu. Yang terbayang
dalam benaknya adalah hari-hari yang terlewatinya untuk mengajar di sana,
ketika ia berjalan kaki atau dengan hasil ongkos pinjaman. Yang terasa adalah
perut dan keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan “ikhlas”. Ia diam
dan air matanya jatuh tak terasa.
Sementara orang-orang kaya lainnya
memberikan uang tansport yang amat kecil, hamper tidak cukup untuk mengganti
ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya pertama, mereka
juga menghiburnya dengan kata “ikhlas”. Ia bingung. Kata “ikhlas” adalah kata
yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas,
dieksploitasi, tetapi tidak tahu harus angkat bicara dan bagian mana.
Dari contoh sederhana itu kita dapat
menemukan sesuatu yang tidak beres dalam makna ikhlas. Kata ikhlas sekarang
digunakan untuk memukul para muballigh. Konsep agama yang begitu luhur telah
salahdigunakan untuk merampas hak para penyebar agama. Tenaga mereka dikuras
oleh berbagai kegiatan dakwah, sehingga tidak sempat mencari nafkah. Mereka
ditinggal begitu saja, habis manis sepah dibuang. Bila mereka dipanggil ke
tempat yang jauh, mereka tidak perlu diberi pesangon. Kata “ikhlas” telah
digunakan untuk melemahkan dan menyingkirkan para muballigh. Akhirnya, banyak
orang berlindung pada kata “ikhlas” untuk menghancurkan umat Islam sendiri.
Ikhlas bukan berarti tidak menerima
upah ketika mengajarkan al Qur’an, seperti kata orang-orang kaya pada pak
Ustadz kita. Benarkah ikhlas dapat kita artikan tidak menerima pesangon untuk
kegiatan dakwah? Ada sebuah peristiwa pada zaman Nabi Saw. Nabi saw mengirim
pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah
perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, namun tak seorangpun menjamu
mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta
bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Said Al-Khudri bersedia
mengobatinya, asalkan mereka membayar dengan tiga puluh ekor kambing. Ia
membacakan surat Al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abu Said
membawakan kambing-kambing itu, para sahabat yang lain menolaknya.”Engkau
menerima upah dari membaca kitab Allah?” Tanya mereka. Ketika sampai di
Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi. “Bagikan di antara
kalian. Tidak ada yang pantas kalian ambil upahnya seperti membaca kitab
Allah,” sabda Nabi saw (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan
lain-lain).
Oleh sebab itu, kita setidaknya
menyadari bahwa seorang muballigh bukanlah seorang malaikat yang tidak
membutuhkan materi. Ketika ia dan keluarganya lapar, maka kelaparan itu tidak
bisa dihilangkan hanya dengan mengucapkan kata-kata “ikhlas”.
Oleh
: Muhammad Qorib