Indonesia Ditengah Pusaran Sekulerisasi
Sekuler dalam kamus
Bahasa Indonesia berarti bersifat duniawi, atau kebendaan (bukan bersifat
keagamaan atau kerohaniaan). Sedangkan sekulerisasi adalah hal-hal yang
membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Penulis
sengaja mengomentari sedikit tentang sekulerisasi di Indonesia karena arus
globalisasi yang demikian kuat dewasa ini memaksa kita tanpa kita sadari telah
membawa kita ke jurang sekulerisme. Mengapa sekulerisme berbahaya bagi kita? Karena
ajaran sekuler memisahkan antara moralitas dan hukum agama, yang pada akhirnya
akan berujung pada kesemrawutan akhlak manusia. Dan buta akan yang haq dan
yang bathil.
Begitu
kuatnya arus sekulerisasi di Indonesia hingga membuat kita masyarakat awam
tidak menyadarinya. Sebagai contoh kecil saja, acara-acara yang beredar dilayar
kaca kita misalnya, bukan rahasia umum lagi pakaian tank top dipakai
ketika acara pertemuan-pertemuan formal atau gaun-gaun yang serba terbuka sehingga
memudahkan bagi siapa saja yang melihatnya disengaja ataupun tidak. Ini tanpa
disadari telah mempengaruhi pola fikir kita. Kalau kita berkaca pada
sejarah bangsa ini yang sudah lebih dari enam dasawarsa merdeka, pastilah kita
bersyukur akan betapa banyak nikmat- Nya yang tak terhitung jumlahnya yang
telah dilimpahkan-Nya kepada kita semua. Mengapa tidak? Orang tua kita dulu,
tidak pernah mengajari anaknya akan hal-hal yang bersifat negatif. Apalagi
mentransfer nilai-nilai dan budaya barat. Orang tua kita dulu masih memegang teguh
nilai-nilai ketimuran dan norma-norma adat warisan nenek moyang kita. Tapi
sekarang seiring kuatnya arus globalisasi yang megguncang Indonesia kita yang
tercinta ini, teknologi semakin maju, pendidikan semakin tinggi, dan ilmu
pengetahuan sudah tak terhitung jumlahnya telah membawa kita semua umat manusia
khususnya bangsa Indonesia kepada perubahan yang luar biasa dari zaman nenek
moyang kita dahulu. Sebut saja telpon genggam atau biasa disebut hp. Zaman
dahulu, orang harus barjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bisa bertemu
dengan sanak saudaranya dan tentunya memakan waktu berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu. Tapi sekarang teknologi menjawab semuanya. Dan tak bisa
dipungkiri pula, kemajuan yang pesat itu semua memberikan dampak positif dan negatif
kepada kita dan anak cucu kita. Salah
satu dari dampak negatif yang ditimbulkannya adalah menjamurnya paham
liberalisme dan sekulerisme di negeri kita ini. Penafsiran kultur barat tanpa
meninjau kembali filosofinya, membuat masyarakat kita dewasa ini seakan sedang
mencari jati dirinya. Paham kebebasan yang kebablasan atau paham yang
selalu memisahkan urusan moral (akhlak) dengan hukum-hukum-Nya, seakan menjadi
dewa yang tiada tandingannya.

Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an yang
berbunyi :
وما خلقتُ الجِن والإنس إلآ ليعبد ون
Artinya: Dan tidak Aku
(ALLAH) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.
Paham-paham seperti
diatas tadi seyogianya dikembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Ajaran Islam yang murni, bukan yang liberal, ekstrem atupun sekuler.
Harus Konsisten pada
Komitmen.
Bagaimana cara membendung ‘virus-virus’
tersebut yang begitu kuat pada saat ini? Pihak yang paling berperan penting
dalam mencegah virus-virus jahanam yang bisa merusak moral kita itu adalah orang
tua. Bagaimana orang tua sebagai pendidik anaknya di luar sekolah
memberikan pemahaman yang mendalam mengenai Islam. Bukan sekedar Islam KTP.
Tapi orang tua dituntut agar lebih peka mengenai yang satu ini. Mengapa? Kalau
pondasi agama anak-anak kita lemah maka ia akan menjadi generasi yang lemah, penakut
dan tidak percaya diri. Buta akan hukum-hukum agama. Dan virus-virus sekulerisasi
dsb akan sangat mudah masuk ke relung jiwanya. Jadi pemahaman akan Islam mutlak
harus dimiliki oleh setiap orang tua ditengah era globalisasi saat ini.
Pihak kedua yang tidak kalah pentingnya adalah sekolah.
Sekolah sebagai gudang ilmu, memberikan pengaruh yang sangat penting bagi
perkembangan moral anak. Tidak bisa dipungkiri, pondok pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar
bagi pendidikan bangsa ini sekaligus sebagai benteng pertahanan yang kokoh dari
serangan kaum liberal. Tidak hanya itu saja pondok-pondok pesantren yang ada di
Indonesia juga berperan penting dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Orang
tua harus jeli melihat sekolah mana yang akan dipilih untuk anaknya kelak.
Apalagi jikalau si anak akan memasuki jenjang perguruan tinggi. Banyak
perguruan tinggi di negeri ini yang sudah terkontaminasi oleh virus
sekulerisasi dan liberalisasi baik itu negeri maupun swasta. Penulis tidak akan
memaparkan satu-persatu perguruan tingggi apa itu dan dimana tempatnya. Tapi
perguruan-perguruan tinggi tersebut jelas-jelas telah membelokkan akidah
mahasiswanya. Bahkan sempat tertulis di media cetak seorang mahasiswi yang
sempat goyah akidahnya ketika ia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri
di Jakarta. Sampai pada akhirnya mahasiswi tersebut bertobat dan bersyahadat
kembali seperti layaknya seorang muallaf yang baru memeluk Islam. Duh gusti, apakah
sampai separah ini dunia pendidikan kita?
Tidak hanya peran fungsi orang tua dan sekolah saja yang
harus kita perbaiki. Faktor lingkungan yang merupakan faktor ketiga dalam
membendung arus sekulerisasi ini juga sangat mempengaruhi. Lingkungan yang
pemahaman agama yang pas-pasan, akan sangat mudah dimasuki paham sekuler dan
liberal. Kalaulah ketiga faktor ini saling sinkron dalam hubungannya untuk
membendung pengaruh sekulerisasi dan liberalisasi di negeri ini, dan terus
meningkatkan keilmuan di bidang keislaman ditambah dengan akidah yang tidak mau
dibeli dengan sekardus mie instan, niscaya bangsa ini akan lebih maju sedikit
demi sedikit, setapak demi setapak. Mari kita lihat negara tetangga kita
Malaysia. Di era 60-an, Malaysia mengimpor guru dari Indonesia. Karena
guru-guru kita dinilai memiliki kompetensi
yang prima dalam mengajar. Bahkan para pelajar Malaysia berbondong-bondong
untuk kuliah di Indonesia! Tapi sekarang, Malaysia dinilai telah berhasil
keluar dari krisis ekonominya tanpa menjual harga dirinya kepada pihak asing
dan tetap konsisten menjaga warisan kultur nenek moyangnya tanpa terpengaruh
budaya barat yang sekuler dan liberal! Anda bisa bayangkan apa jadinya kalau
sidang ataupun rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita menggunakan kostum
daerah! Unik memang. Tapi itulah yang terjadi di negara tetangga kita Malaysia
sampai detik ini. Satu hal lagi Malaysia tetap mempertahankan idenditas
keislaman mereka! Mayoritas perempuan Malaysia menggunakan jilbab sebagai
pakaian sehari-hari mereka. Walaupun beberapa waktu silam hubungan antara
RI-Malaysia sempat memanas akibat sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ditambah
lagi klaim lagu Rasa Sayange sebagai lagu daerah mereka. Singapura yang
kita kenal hari ini berbeda dengan Singapura di lima puluh tahun silam.
Singapura yang kita kenal sekarang adalah macan asia yang dengan kelebihannya
mampu menunjukkan eksistensinya di mata dunia.
Maka
dari itu, sudah saatnya kita tidak lagi apatis dengan apa yang terjadi pada
agama dan bangsa kita. Pemuda hari ini akan menjadi penentu esok hari. Jika
pondasi-pondasi yang seharusnya telah kuat mengakar di sanubari itu lemah hari
ini, bagaimana kelak mereka bisa menjadi penentu di masa yang akan datang? Mengapa
harus malu mengakui kekurangan kita ? Untuk itu mari kita kembalikan negeri
kita ini kepada jati dirinya semula. Tanpa pengaruh sekuler apalagi liberal
yang berasal dari barat. Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh : Azhar Aziz Lubis