Obyektifitas Dan Subyektifitas Dalam Sejarah
Suatu hal yang akhir-akhir ini diperbincangkan dan
diperdebatkan lagi di masayarkat. Khususnya dikalangan sejarawan adalah masalah
yang menyangkut obyektifitas dan subyektifitas dalam sejarah. Bila mendengar dan
membaca komentar maupun ulasan-ulasan, baik melalui televisi, radio maupun
surat-surat kabar (media cetak) atau berbagai seminar dan lokakarya. Kita
seringkali menjumpai berbagai ucapan, ulasan dan tulisan yang mempertanyakan
kebenaran atau keobyektifikan suatu tulisan atau buku sejarah. Bahkan di
kalangan murid sekolah pun, dewsa ini sudah muncul keasingan terhadap berbagai
buku sejarah yang ada pada saat ini, terutama buku babon Sejarah Nasional Indonesia periode kontemporer.
Beberapa tahun yang lalu tepatnya diharian kompas
(edisi 3 dan 4 Agustus 1992) memuat berita hasil wawancara dengan Menteri
Pendidikan dan Kebuayaan RI pada masa itu, Prof. Dr. Fuad Hasan. Beliau
menyatakan bahwa buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI akan ditinjau kembali
dan sekaligus ditulis ulang. Hal itu dilakukan karena ada subtansi dalam buku
sejarah nasional tersebut oleh berbagai kalangan dinilai terlalu subyektif
alias tidak obyektif.
Permasalahn tersebut diatas pada dasarnya bukan hanya
dialami oleh sejarawan dan bangsa Indonesia saja. Jepang yang dikenal sebagai
negara maju dan beberapa tahun yan lalu berusaha kembali menulis sejarahnya,
bahkan mengalami hal yang sangat tidak menyenangkan. Dalam buku sejarah Jepang
yang baru ditulis tersebut ada bagian-bagian yang diprotes oleh bangsa Korea,
bahkan sudah menjurus pemutusan hubungan diplomatik di antara kedua negara
tersebut. Hal ini disebabkan karena Jepang berusaha untuk mengecilkan bahkan
menghilangkan sama sekali aksi kejahatannya ketika menduduki semenanjung itu pada
masa Perang Dunia II.
Masalah obyektifitas dan subyektifitas dalam sejarah
memang bukan suatu persoalan sepele. Nugroho Notosusanto sendiri semasa
hidupnya sebagai salah seorang sejarawan kontemporer seringkali menerima
nasehat dan kritikan, bahkan makian dari pihak-pihak tertentu bahwa ia harus
menulis sejarah yang obyektif, jangan subyektif (Nugroho Notosusanto, 1978).
Jelas bukan hanya Nugroho Notosusanto sendiri yang mengalami hal semacam ini.
Tentu banyak sejarawan lainnya pernah juga mengalami hal yang demikian itu.
Mengamati uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa
obyektifitas dan subyektifitas dalam sejarah adalah suatu hal yang sangat
penting dan mendasar. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipahami dan
dimengerti yang berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu : (1). Apakah yang
dimaksud dengan obyektifitas dan subyektifitas dalam sejarah ?, (2). Bagaimana
subyektifitas timbul dan mengapa hal tersebut dapat timbul ?, (3). Bagaimana
sikap sejarawan terhadap subyektifitas tersebut ?. Dengan menguraikan dan
membahas ketiga permasalahn tersebut maka perdebatan-perdebatan yang berkaitan
dengan masalah subyektifitas dapat kita pahami.
Pengertian Subyektifitas dan Obyektifitas Dalam
Sejarah
Menurut F.R. Ankersmit (1987 : 329) sebuah penulisan
sejarah dikatakan subyektif jika subyek yang menulis sejarah tersebut, yakni
sejarawan jelas hadir di dalamnya. Maksudnya suatu penulisan sejarah tersebut
dapat bersifat subyektif bila sejarawan membiarkan keyakinan,
pendapat-pendapatnya turut berperan di dalamnya. Pendapat serupa dikemukakan
pula oleh Sutrasno (1975 : 48) bahwa subyektifitas dalam sejarah berarti cerita
sejarah itu telah mendapat pengaruh dan purbasangka dari penulisnya.
Adapun istilah obyektifitas dalam sejarah menurut
Kuntowijoyo (1995 :70) yaitu tidak ada pandangan yang bersifat individual.
Maksudnya sejarawan dalam merekontruksi tentang masa lampau hendaknya antara
fakta dengan tulisan sejarah terdapat kesesuaian. Selanjutnya menurut Sartono
Kartodirjo (1993 : 65) bahwa obyektifitas dalam sejarah dimaksudkan sebagai
sejarah dalam aktualitas. Artinya kejadian atau peristiwa sejarah itu sendiri
terlepas dari subyek atau sejarawan. Jadi suatu sejarah dikatakan obyektif
apabila kisah sejarah tersebut hanya menunjukkan apa yang benar-benar telah
terjadi atau wiees eigentlich gewesen
menurut Leopold Von Ranke.
Berdasarkan keterangan dan uraian di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa subyektifitas dan obyektifitas dalam sejarah pada hakikatnya
mempersoalkan sejauh mana suatuobyek atau fakta sejarah diitervensi oleh subyek
atau sejarawan. Dengan demikian kadar subyektifitas dan obyektifitas suatu
cerita sejarah sangat ditentukan oleh sejarawan itu sendiri. Semakin banyak
keyakinan, pendapat atau ide sejarawan terlibat dalam suatu cerita sejarah, maka
semakin besar pula kemungkinan tingkat subyektifitas dari suatu cerita itu.
Begitu pula sebaliknya, semakin kurang keyakinan, pendapat atau ide sejarawan
dalam suatu cerita sejarah maka semakin kuat pula kemungkinan tingkat
obyektifitas dari cerita sejarah tersebut.
Namun, jika kita bertolak dari pengertian sejarah
sebagai konstruk yang diciptakan oleh sejarawan, maka dapat dikatakan bahwa semua
sejarah yang ada dewasa ini sudah tentu bersifat subyektif. Sebab pengungkapan
atau penggambaran suatu peristiwa sejarah menjadi kisah sejarah tentu harus
melewati proses pengolahan dalam pikiran dan angan-angan seorang sejarawan.
Ungkapan yang mengatakan data dapat berbicara hanyalah suatu omong kosong
belaka, sebab tanpa penafsiran sejarawan suatu data tidak akan berari sama
sekali. Menurut Bauer seperti dikutip oleh G. J. Renier (1997 : 272) bahwa
pemujaan terhadap obyektifitas tidak akan pernah dapat tercapai.
Berkaitan dengan masalah subyektifitas dan
obyektifitas dalam sejarah, Nugroho Notosusanto seperti dikutip oleh
Poespoprodjo (1987) : 42 – 43) mengemukakan bahwa dalam tahap heuristik
(mencari dan menemukan sumber) dan tahap kritik (menguji sumber) seorang
penulis sejarah masih dapat obyektif, artinya obyeknya yang dijadikan sasaran.
Tetapi setelah menginjak taraf interprestasi maka seorang penulis sejarah akan
mulai goyah, karena sudah menyangkut subyektifitas sejarawan. Dalam taraf
interprestasi ini suatu peristiwa dapat diartikan bermacam-macam, tergantung
dari sudut pandang sejarawan. Dengan demikian menurut F. R. Ankersmit (1987 :
331) bahwa setiap filsuf sejarah, entah ia menganut subyektifitas atau
obyektifitas akan mengakui bahwa penulisan sejarah pada umumnya bersifat
subyektif.
Faktor-Faktor yang Mendorong Munculnya Subyektifitas
Dalam Sejarah
Menurut W. H. Walsh seperti dikutip oleh Helius
Sjamsuddin (1996 : 172) bahwa paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan
subyektifitas dapat tibul dalam suatu penulisan sejarah. Keempat faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Sikap berat
sebelah pribadi (Personal bias)
Sikap berat sebelah pribadi menyangkut persoalan suka
dan tidak suka terhadap seseorang individu atau jenis-jenis orang. Sebagai
contoh yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1971 : 4) bahwa di dalam
sejarah selalu ada pada yang kita sebutkan orang-orang besar, tokoh-tokoh besar
atau pahlawan-pahlawan. Sejararawan seperti Thomas Carlyle (Inggris) mengagumi
orang-orang besar. Dengan demikian ia menulis suatu buku yang sudah klasik
dengan judul: “On Heroes, Hero-worship
and Heroic in Hsistory” (mengenal pahlawan, pemujaan pahlawan, dan
kepahlawanan dalam sejarah). Buku tersebut isinya riwayat tentang orang-orang
besar semua, seperti Caerar, Yesus Kritus, Nabi Muhammad dan lain sebagainya.
Sebaliknya, ada sejarawan Inggris lainnya yang
membenci orang-orang besar, yaitu H. G. Wells. Ia berpendapat, bahwa
orang-orang besar inilah yang membuat rusak dunia. Dengan demikian bukunya yang
berjudul “The Outline of History”
dapat dikatakan tidak menonjolkan orang-orang besar. Kalupun disinggung, mereka
digambarkan sebagai villain, orang
tidak baik seperti penjahat, bajingan atau tidak jujur.
2.
Prasangka
kelompok (Group Prejudic)
Prasangka kelompok , yaitu suatu sukap berat sebelah
bukan karena pribadi tetapi karena kelompok-kelompok. Disini menyangkut
keanggotaan sejarwan dalam suatu kelompok tertentu, apakah itu bangsa, ras,
kelompok sosial atau agama tertentu. Misalnya menurut Helius Sjamsuddin (1986 :
172) sejarawan berkulit putih menulis sejarah dengan sikap angkuh dan
menganggap dirinya lebih beradab daripada bangsa-bangsa kulit berwarna yang
pernah mereka jajah. Sejarawan islam akan berpandangan lain mengenai Perang
Salib dengan sejarawan Kristen. Sejarawan Komunis akan mempunyai pandanan lain
mengenai Peristiwa Madiun dibandingkan dengan sejrawan nasionalis, dan
sebaginya.
3.
Teori-teori
penafsiran sejarah yang berbeda (Conflicting
theories of historical interpretation)
Teori-teori interpretasi yang berbeda menyangkut adanya
penafsiran yang berlain-lainan mengenai apa sesungguhnya yang paling besar
pengaruhnya terhadap terjadinya suatu peristiwa. Menurut Nugroho Notosusanto
(1978 : 15) bahwa pada umunya faktor inilah yang sesungguhnya yang paling
berpengaruh dalam suatu proses sejarah. Sejarawan Marxis misalnya tentu akan
menulis berdasarkan teori determinisme ekonomi dalammenafsirkan faktor penyebab
sejarah, bahwa ekonomilah satu-satunya penggerak utama sejarah. Begitu pula
misalnya dalam melihat keberhasilan pendahulu-pendahulu kita dalam
mempertahankan kemerdekaan periode 1945-1949. Ada yang mengatakan faktor
politik internasional (meliputi faktor diplomasi), ada yang mengatakan faktor
militer (berhadilnya gerilya), dan ada pula yang mengatakan faktor ekonomi
(perlunya Belanda lekas membangun kembali negerinya setelah Perang Dunia II).
Jadi sangat tergantung kepada sejarawannya menganut teori yang mana. Dengan
demikian sejarah yang ia tuliskan jelas mempunyai corak yang berbeda dengan
tulisan sejarawan lain yang mempunyai pandangan teori yang berbeda fakta
sejarah yang sama.
4.
Konflik-konflik
filsafat yang mendasar (Underlying
philosophical conflicts)
Faktor keempat ini menurut I. G. Widja (1988 :44)
dimaksudkan bahwa sejarawan dalam mempelajari masa lampau masing-masing
berdasarkan ide-ide filosofisnya (baik sebagai keyakinan moral maupun
matafisis) dan dengan sendirinya ini menentukan cara mereka manafsirkan masa
lampau tersebut sehingga menghasilkan panafsiran sejarah yang berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan-perbedaan pandangan filsafatnya. Secara teoritis,
seorang sejarawan yang menganut filsafat tertentu, faham, kepercayaa, atau
agama tertentu, jelas akan menulis sejarah berdasarkan pendangannya itu.
Sejarawan keagamaan tentu saja lain tafsirannya dibandingkan dengan sejarawan
Marxis. Pendapat yang menganggap bahwa Tuhan itu ada tentu lain dengan orang
yang menganggap Tuhan itu tidak ada.
Dari keterangan dan uraian di atas, kiranya meyakinkan
kita bahwa onyektifitas mutlak di dalam sejrah adalah suatu hal yang tidak mungkin
dicapai. Oleh sebab sejarah sebagai kisa pada dasarnya akan selalu bersifat
subyektif. Sejarawan itu bukan dewa atau malaikat, ia punya emosi dan selama
sejarawan punya emosi tentu subyektif.
Meskipun unsur subyektifitas sulit dihilangkan dalam
suatu penulisan sejarah, namun disini perlu ditegaskan bahwa untuk menghasilkan
suatu penulisan sejarah yang adil maka diharapkan setiap sejarawan berusaha
untuk bertekad di dalam hatinya mengejar obyektifitas semaksimal mungkin,
meskipun obyektifitas dalam arti terbatas. Sebab usah unuk melahirkan masa
lampau seperti yang diharapkan oleh perintis sejarah ilmiah, yaitu Leopold Von
Ranke (1975-1886) yang menyarankan untuk menunjukkan apa yang benar-benar telah
terjadi adalah suatu hal yang gegabah. Untuk itu menurut I. G. Widja (1998 : 44
) bahwa yang perlu diperhitungkan adalah kemungkinan adanya sintense dari sudut-sudut pandang dai dalam sudut pandang lainnya. Hal yang demikian ini oleh Sartono Kartodirdjo (1993 : 65) diistilahkan intersubyektif.
) bahwa yang perlu diperhitungkan adalah kemungkinan adanya sintense dari sudut-sudut pandang dai dalam sudut pandang lainnya. Hal yang demikian ini oleh Sartono Kartodirdjo (1993 : 65) diistilahkan intersubyektif.
Tim Dosen MKDDIS FIS Unimed